Bila urutan saintifik ini memang benar-benar dipraktekkan, maka akan terbangun hal-hal awal dan mendasar sebagai berikut :
- Ketika seseorang menguraikan sesuatu yang bersifat wawasan, maka yang bersangkutan harus bertanggung-jawab tentang sumbernya, apakah bersumber dari pendapat pribadi, literatur, narasumber, agama, budaya, dsb.
- Ketika sumber tersebut disebutkan, misalnya berdasarkan agama anu, atau berdasarkan budaya anu, berdasarkan literatur anu, dsb maka harus bisa diverifikasi bila ada pihak yang mempertanyakan.
- Saintifik terbuka luas bagi hal-hal yang termasuk asumsi, opini, dan wacana. Dalam hal ini etikanya adalah dengan mengatakan bahwa sumbernya adalah dari pendapat pribadi.
Dan ketika ditanya demikian :
"Tadi dikatakan bahwa yang anda uraikan adalah berdasarkan agama anu, dapatkah dijelaskan rincian sumbernya?"
"Tadi disebutkan bahwa yang anda uraikan adalah berdasarkan budaya anu, dapatkah dijelaskan tentang sumbernya?"
maka yang bersangkutan mengelak-ngelak dan merasa disudutkan, merasa diuji, dsb.
Saintifik jauh lebih menghargai pihak-pihak yang berkata : Ini pendapatku, ini wacanaku, ini opiniku, bila memang sumbernya adalah anonim atau bersumber dari interes pribadi.
Bila ada pihak yang mengatakan seperti ini : Berdasarkan budaya anu maka bla... bla... bla... padahal yang bersangkutan tidak bisa menyebutkan sumbernya, maka sesungguhnya yang bersangkutan bisa dinilai sebagai
- hanya mengatasnamakan sesuatu tanpa dasar,
- hanya ingin menggiring opini publik, bukan mengangkat fakta.
Ada fakta yang ingin aku angkat, dan bisa diklarifikasi :
Seorang yang dituakan memberikan tausiah ke-Islam-an. Isi tausiahnya bertema umum. Lalu ada yang bertanya :
Bagaimana sih sebenarnya hukum poligami itu?
Yang bersangkutan lalu menjelaskan bla... bla... bla... Kemudian diakhir penjelasannya ia mengatakan bahwa itu adalah pendapat pribadinya, itu adalah ijtihad-nya, meskipun ada rujukan nash-nya.
Singkatnya yang bersangkutan memang merujuk pada suatu nash tetapi tentang tafsirnya ia jelaskan dari pendapat pribadi.
Sikap seperti inilah yang elegan dan bisa dinilai sebagai saintifik. Tidak gegabah mengatasnamakan Islam terhadap tafsir yang memang berasal dari pendapat pribadi.
Secara umum ini adalah opiniku, meskipun ada fakta dan rujukan yang aku angkat.